Risiko Pernikahan Dini – Pernikahan dini masih marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seakan dianggap hal lumrah yang diwariskan turun-temurun. Namun, di balik label “tradisi” atau “aturan adat”, tersembunyi fakta medis yang mengejutkan dan tak bisa diabaikan. Pernikahan yang terjadi sebelum usia 18 tahun bukan hanya persoalan kesiapan mental atau ekonomi, tapi juga berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan ibu dan bayi. Dan ini bukan isapan jempol—dokter-dokter spesialis kandungan sudah berkali-kali mengingatkan: tubuh remaja belum siap menjalani kehamilan.
Tubuh Belum Siap, Risiko Kesehatan Mengintai
Saat remaja perempuan menikah dan langsung hamil, mereka membawa janin dalam tubuh yang sebenarnya masih dalam fase pertumbuhan. Dr. Arini Widya, Sp.OG dari Jakarta menyebutkan bahwa rahim remaja masih rentan, dan proses kehamilan pada usia muda dapat memicu komplikasi serius seperti preeklamsia, anemia berat, bahkan persalinan prematur. Bayangkan saja, seorang gadis 14 tahun yang seharusnya masih sibuk mengejar pendidikan, justru harus menghadapi risiko kematian saat melahirkan.
Selain itu, pertumbuhan tulang panggul yang belum sempurna bisa mengakibatkan proses melahirkan menjadi lebih sulit, seringkali membutuhkan tindakan operasi caesar. Dan ironisnya, banyak dari mereka yang tak memiliki akses ke fasilitas kesehatan memadai.
Bayi Lahir dengan Risiko Tinggi
Tak hanya sang ibu yang jadi korban. Bayi dari pernikahan dini pun ikut menanggung akibatnya https://fasanesia.com/. Berat badan lahir rendah, prematur, hingga gangguan perkembangan menjadi ancaman nyata. Dr. Arini menambahkan bahwa janin yang tumbuh di rahim remaja cenderung kekurangan nutrisi karena tubuh ibu juga masih membagi asupan untuk pertumbuhannya sendiri. Ini artinya, bayi lahir dengan kondisi kesehatan yang rapuh, rentan infeksi, bahkan berisiko mengalami keterlambatan perkembangan otak.
Realita Sosial yang Mendorong Bahaya
Di banyak daerah, tekanan sosial untuk menikah muda begitu kuat. Faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan anggapan bahwa menikah muda bisa “menyelamatkan harga diri” keluarga justru menjadi akar dari siklus kemiskinan dan kesehatan yang memburuk. Padahal, dengan menunda pernikahan hingga usia matang, peluang hidup sehat ibu dan anak meningkat drastis.
Suara Medis yang Harus Di dengar
Sudah saatnya masyarakat membuka mata dan telinga. Pernikahan dini bukan hanya tentang usia sah di mata hukum atau agama, tapi tentang kesiapan biologis dan psikologis. Dokter dan tenaga medis sudah bersuara keras—bahwa praktik ini berbahaya. Tapi, apakah masyarakat siap berubah?
Tak cukup hanya kampanye, dibutuhkan komitmen dari semua lini: keluarga, sekolah, pemerintah, dan tokoh masyarakat. Jika tidak, maka angka kematian ibu dan bayi akan terus jadi mimpi buruk tahunan yang seharusnya bisa dicegah.